Oleh : Akhmad Ghasi Pathollah ( Kader PAC Ansor
Wonosari )
Hidup
adalah sebuah drama, setiap individu saling bermain peran dalam relasi
interpersonal membentuk kehidupan sosial yang secara serta-merta dengan itu,
terorganisir. Intinya adalah relasi antar-orang ini yang membangun kesatuan
sosial sekaligus politik, sebuah pembagian peran dalam masyarakat. Ada
pemimpin, ada rakyat. Ada pembeli, ada penjual. Ada pekerja, ada bos. Ada
suami, ada istri. Kesemuanya pada gilirannya membangun sebuah rangkaian
kehidupan terstruktur sebagai masyarakat dengan semua aspeknya mulai dari yang
paling mendasar berupa ekonomi-politik hingga yang kompleks berupa sosial,
budaya, pendidikan dan bahkan peradaban.
Sebagai makhluk sosial, setiap orang niscaya
butuh berhubungan dengan orang lain dalam membangun komunikasi demi memenuhi
kebutuhannya yang mustahil dipenuhi secara individual. Proses ini sudah bermula
semenjak Nabi Adam AS tercipta sebagai
manusia pertama dalam sejarah dan secara melankolis merasa kesepian padahal
kebutuhan apa pun sudah terpenuhi. Ada ruang kosong dalam dirinya berwujud
kesepian, sehingga Siti Hawa diciptakan untuk mengisi ruang itu. Dalam konteks ini, komunikasi adalah
wujud konkret kebutuhan psikis manusia.
Di
era komunikasi abstrak hari ini, media sosial memainkan peran fundamental
bahkan revolusioner, dalam arti banyak menciptakan fenomena baru yang belum
pernah ada dalam sejarah. Peralihan jangkar kehidupan dari realitas kongkret menuju realitas maya mengaburkan batas antara
yang privat dan yang publik dalam komunikasi. Seperti misal, membicarakan
masalah-masalah privat di ruang publik. Sebelum era media sosial, membuka
masalah privat secara publik adalah janggal, bahkan melawan norma sosial dan
moral. Namun tidak dengan era media baru hari ini, kehidupan privat diumbar
secara gampang di ruang publik, mulai dari menu makan, mengasihani diri,
ungkapan makian dan kejengkelan, do’a dan harapan, bahkan informasi penting
seperti kucing tetangga yang selingkuh gampang ditemukan.
Hal
sedemikian ini semakin hari semakin menjadi-jadi, pemberitahuan info receh
seperti ini menjadi fenomena umum terutama karena difasilitasi dengan ruang up
date status atau story. Ini menggiring model berpikir baru
secara psikis dalam subjek untuk menjadi dramatis, subjek dramatis. Maksudnya,
sebuah subjek yang menempatkan dirinya sebagai objek tontotan dan publik
sebagai penonton. Dan media sosial baru menfasilitasi dan mengiring model
berpikir seperti itu di setiap penggunanya. Di titik ini kemudian, subjek
dramatis merambah menjadi kesadaran publik.
Dalam
paradigma subjek dramatis ini, hidup sebagai sebuah drama menemukan manifestasinya.
Setiap orang berusaha menampilkan citra diri yang baik sambil membayangkan
orang lain akan menilainya berdasar citra itu. Setiap orang dengan begitu,
terpenjara dalam tampilan dan secara paradoks menyembunyikan citra diri yang
buruk agar drama berjalan sebagaimana yang diharapkan. Akibatnya, setiap orang
terbiasa ‘bertopeng’ untuk menutupi sisi gelap dalam diri untuk dilihat baik
oleh orang lain. Dan pada saat yang sama, ia membohongi orang lain dan lebih
jauh lagi, ia mengingkari dirinya sendiri.
Dalam tradisi keagamaan, hal ini termasuk
kategori riya’, al-Qiyamu bi al-‘amali au tarkuhu li-ghairillah, melaksanakan
atau meninggalkan suatu perkara karena selain Allah SWT. Bahkan Rasulullah SAW
mensinyalir riya’ sebagai syirku al-asghar, sebuah ke-syirik-an
yang kecil. Jadi, fenomena subjek dramatis yang menghinggapi kesadaran massa
secara massal hari ini dengan ditunjang perkembangan teknologi dan informasi
adalah migrasi merangkak dari ketuhanan sebagai pusat kehidupan menuju
kehidupan imaginer yang artifisial.
Adapun
efek lanjutan dari itu juga adalah ujub,membanggakan diri-sendiri. Sebagai
akibat dari kebiasaan menampilkan citra baik sehingga menciptakan mindset
akan diri-sendiri yang memiliki nilai lebih dari orang lain. Hal ini jelas
membangun kesadaran palsu dalam diri yang bila diproduksi secara terus-menerus
akan menciptakan budaya narsistik.
Sehingga
benar bila manusia hari ini telah mencapai perkembangan canggih yang belum
pernah ada dalam sejarah, namun tanpa kemanusiaan. Manusia telah mengasingkan
dirinya dari realitas riil yang dihidupinya. Sehingga secara tidak langsung, perkembangan
zaman adalah sebuah langkah mundur dalam kemanusiaan, sebuah ke-jahiliyah-an
dalam mode baru.
Keterjagaan
( awakeness ) dan kesadaran ( awareness ) adalah kunci utama dan
tentunya dengan agama, ilmu dan pengetahuan. Generasi eksis bukanlah generasi
yang selalu selfie dan tampil dalam citra baik di media sosial, namun
generasi eksis adalah generasi yang senantiasa dalam keterjagaan dan kesadaran
untuk tetap waras dalam terjangan dan ledakan informasi sekaligus menjadikan
ketuhanan sebagai pusat dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam
hal ini, setiap orang mesti terampil mengidentifikasi diri baik posisi maupun
fungsi. Kesadaran akan posisi sebagai manusia baik individual maupun sosial
akan berakibat pada ketepatan dalam melaksanakan fungsi dan perannya. Di
hadapan Tuhan, ia adalah seorang hamba dam melaksanakan apa pun dengan tetap
dalam status kehambaan. Sedang dalam interaksi sosial, ia dalam relasi
inter-personal sebagai partner dalam ber-ibadah dan ‘amal
shaleh secara sosial dalam Tawashaw bi a- Haq dan bi as-Sabr. Wallahu
A’lamu bis Shawab