Oleh ; Akhmad Ghasi Pathollah ( Kader Ansor Wonosari )
Sebagai sebuah subjek, setiap kita adalah pusat kehidupan. Keberadaan
kita yang pertama dan utama mesti harus selalu disadari dan dipikirkan selalu,
bahkan setiap waktu. Pasalnya, eksistensi kita secara internal ( baca ; jiwa )
dalam relasinya dengan yang ekternal ( baca ; dunia di luar diri ) selalu terjadi setiap saat. Tidak satu detik
pun seharusnya subjektifitas kita tersandera oleh hal di luar kita itu. Bila
begitu, originalitas hidup kita akan dipertaruhkan.
Hidup yang original
adalah hidup yang bebas dan hakiki tanpa intervensi orang lain. Hidup yang
bebas adalah hidup tanpa predikat, sebuah embel-embel yang dilekatkan oleh
orang lain kepada kita. Dan hidup yang hakiki adalah sebuah laku-hidup yang
mengarah ultimate reality atau realitas tertinggi dalam hierarki wujud,
al-waajib al-wujud. Di sisi lain, hidup non-original adalah hidup berbasis
pada hidup orang lain. Hidup yang ka-we, sebuah laku-hidup yang berbasis
pada kemunafikan diri dan berorientasi pada kesementaraan.
Kemunafikan diri
dalam kehidupan manusia hari-hari ini adalah fenomena massal. Manusia bukan
lagi menjadi pusat dalam hidupnya, keberadaannya tergeser oleh materialisme
yang mereka konstruk sendiri dalam laku sosial dan budaya mereka. Kesadaran dan
pikiran bukan lagi menjadi barang istimewa, keduanya seringkali tergadaikan
sebab dan untuk materi. Hidup adalah melulu tentang dunia dan materi. Di titik
ini lah sebenarnya kemunafikan diri secara gamblang terlihat dan terasa dimana
hidup mengabaikan keberadaan diri-sendiri.
Bahkan dalam ubudiyah
baik vertikal-transendental atau terutama horizontal-sosial, ironi seperti
ini sering terjadi dimana seharusnya li-Allah menjadi li-ghairi-Allah.
Perihal ini menggeser posisi Allah SWT sebagai orientasi utama dalam ibadah
dengan kepentingan sesaat seperti uang, jabatan dan pujian atau penilaian orang
lain, yang kesemuanya itu adalah ilusi pada dasarnya. Sebagaimana notifikasi
al-Qur’an dengan istilah Mataa’ul-Ghurur, dunia-kebendaan-kesementaraan
adalah identik, sebagai kesenangan yang menipu.
Umrah misalnya, ia
pertama dan utama adalah perihal ibadah, substansi laku hidup manusia dalam
proses pendekatan terhadap-Nya, Dzat yang menjadi titik mula dan tujuan akhir.
Biasanya ditekankan dengan istilah li-Allah dalam setiap niat beribadah.
Namun kondisi sosial selalu menggiring komitmen keilahiyan ini berbelok menjadi
berorientasi pujian dan pengahargaan atau penilaian orang lain. Alhasil, tak
jarang orang yang berangkat umrah sibuk dengan urusan artifisial semisal
oleh-oleh, foto selfie, dan semuanya yang berbasis penampilan serta pada saat
yang sama lupa bahwa bertambahnya ketaatan dan ketaqwaan adalah orientasi utama
dalam proses ini. Di sini kemunafikan
diri selalu menjadi hantu yang mengararahkan subjek menjauhi dirinya sekaligus
tidak sadar menjauhi Tuhannya.
Di sisi lain dalam
sinyalir al-Hadits Rasulullah SAW tentang kemunafikan adalah dusta dalam
berkata, ingkar dalam berjanji dan khiyanah dalam amanah. Dalam
pembacaan lebih luas, kemunafikan diri adalah penyangkalan manusia terhadap
kesadaran terdalam dalam diri (al-Qalb) dimana kebenaran (al-Haq)
dan kebaikan (al-Ma’ruf) dikonfirmasi sekaligus mengkonfirmasi kebenaran
tindak-laku. Dalam berdusta, mengingkari janji serta khiyanah terhadap
amanah, kesemuanya tentu bukan karena niscaya ketidaktahuaan, namun
kesengajaan mengingkari al-Qalb, ruang terdalam dalam diri dimana
Tuhan bersemayam dan mengkonfirmasi kebenaran dan kebaikan.
Ruang ini lah yang
hari-hari ini selalu terbaikan dan terlupakan di era kapitalisme dan
materialisme dalam segala aspek kehidupan. Kesadaran dan pikiran akan hal itu
telah tersandera oleh kepentingan dan kebutuhan sesaat terutama uang. Eksistensi
manusia hari ini diukur berdasar
kuantitas kepemilikan terhadap uang. Siapa yang memiliki uang akan lebih eksis
dan lebih diakui kebaradaannya daripada yang tak memilikinya. Di sini lah
kemunafikan ber-uforia, ketidakwarasan menjadi hal wajar hari-hari ini
karena dikonfirmasi banyak orang. Dengan demikian, Materialisme telah menjadi
paradigma umum serta mengusir subjek keluar dari posisinya sebagai poros
kehidupan.
Selanjutnya
bagaimana ? sudah saatnya mengakhiri pengasingan manusia sebagai subjek dalam
hidupnya sendiri dengan membangun kesadaran akan dirinya sebagai poros utama
kehidupan. Lawan kemunafikan diri dengan mengembalikan al-Qalb sebagai
penuntun dalam tindak dan laku hidup. Sehingga Tuhan dengan sendirinya hadir
dalam diri sebagai basis dan orientasi tindak dan laku hidup manusia. Tentunya
ini butuh konsistensi, koherensi dan korespondensi.
Bukannya setiap laku kehidupan adalah sebuah
proses pencarian dan pendekatan terhadap ultimate reality atau realitas
tertinggi dalam hierarki wujud. Sederhananya, Allah adalah titik berangkat dan
menuju dalam hidup manusia. Innalilllah wa inna ilaihi raaji’una,
sesungguhnya kita adalah milik allah dan kepeda-Nya kita kembali.
Perlulah kita selalu mengupayakan hidup dalam
ibadah secara ikhlas, sebentuk totalitas li-Allah. Setiap individu perlu mengupayakan itu sebagai sebuah proses.
Kemunafikan adalah problem setiap orang dalam mencapai totalitas itu sebab ego
atau hasrat kebendaan dimiliki oleh setiap orang. Bahkan, musuh terbesar
berdasar al-Hadits Rasulullah SAW adalah diri-sendiri, lebih spesifik
adalah kemunafikan diri.
Dengan demikian, setiap
manusia adalah subjek hidupnya. Kesadaran akan menjaga originalitasnya
sebagai subjek bila selalu dijaga dan disadari. Hal ini ada dalam ruang
terdalam dalam diri dimana Tuhan bersemayam dalam diri mengarahkan pada
kebenaran dan kebaikan. Dalam sebuah al-Hadits al-Qudsi disebutkan bahwa
siapa manusia yang mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya. Mengembalikan
Ruang terdalam ini menjadi basis utama hidup manusia tentunya akan mengahiri
kemunafikan diri dan ketidakwarasan diri yang menjadi problem setiap manusia.
Sekian, wallahu a’lam.